Senin, 18 Januari 2010

Kumasih di sini, tempatku berada

Panggil saja namaku Ivay, bukan nama pemberian ibuku atau ayahku atau sanak saudaraku yang lainnya. Nama itu kupilih sendiri untukku. Kupilih bukan karna aku tak suka nama pemberian orang tuaku tapi memang karna suka saja nama panggilanku berbeda dari nama asliku.

Perawakanku yang mungil memberi kesan diriku yang masih berumur remaja. Namun, nyatanya aku sudah lewat dari umur 25. Pembawaanku yang sederhana dan apa adanya membuatku sulit berdandan ala wanita dewasa. Tapi itu tak jadi soal buatku karna tidak ada ruginya bagiku.


Semilir angin malam berhembus membelai kulit wajahku. Membuatku semakin mendekap diriku dibalutan selimut. Angin yang menghampiri lewat celah dinding papan kamarku membuatku semakin ingin cepat-cepat terlelap.


Sayup-sayup terdengar lagu yang sudah lama akrab di telingaku. Syair lagu yang hanya penggalan satu kalimat itu menyentakku dari tidur.

...show me the way back to your love...

Omelan singkat dan lemah kembali meliputi hati dan pikiranku.Tak bisa kupungkiri, omelan ini tak kunjung bisa kuatasi karna aku sebenarnya tidak suka mendumel. Akhhhhh, bencinya aku...kata-kata ini menjadi langganan bibirku saat lagu itu terdengar.

Jika lagu itu tiba-tiba terdengar olehku, spontan aku teringat dengan orang yang pernah menempati hatiku. Dia sudah pergi tanpa permisi. Aku tidak menyalahkan dia, sama sekali tidak. Karna dia tidak punya kewajiban untuk permisi. Hanya hatiku saja yang tidak bisa terima situasi saat itu.

Tentu saja sulit bagi siapa saja menerima kepergian seseorang yang sangat ingin dikasihi. Saat waktu demi waktu dirangkai dengan aktivitas-aktivitas menyegarkan. Memberi nuangsa hidup yang penuh dengan harapan dan titian impian. Dan serasa alam berkumandang memberi kesaksian keindahan persahabatan, tiba-tiba dia pergi. Pergi dan mungkin tidak akan kembali.


Dalam persahabatan wajar-wajar saja ada marah, kesal, dan tidak sapaan beberapa saat oleh ego diri yang menyembur. Secepat dia menyembur, secepatnya itu juga akan mereda. Tak jadi soal.

Tapi untuk yang satu ini...akhhhh, kenapa tiba-tiba rasanya ada yang hilang dari diriku dengan kepergiannya. Sial, rasa apa ini? Kenapa begitu menyesakkan dan hampir membuatku tidak bisa bernafas? Berulang-kali aku menyalahkan diriku mengapa rasa itu kuijinkan hadir.


Persahabatan berubah menjadi cinta.

Mungkin inilah yang kurasakan, aneh memang, tapi ini kenyataan. Kenyataan ini kusadari lama setelah kepergiannya. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa dan lagi, aku tidak berani mengungkapkan dan bilapun keberanian sudah muncul mungkin sudah terlambat.


Kepekaanku terhadap suara-suara hati atau pikiran seseorang yang pernah dekat dengankulah yang membuatku berpikir...mungkinkah itu pikirannya dia? Kasihku dan rasa itu pernah kuekspresikan lewat tulisan-tulisan yang kupikir mungkin dia baca lewat situs jejaringan sosial. Tapi, itu semua hanya untuk sekedar menghabiskan waktu...melonggarkan kepenatan hati dan pikiran. Tidak untuk membawanya kembali.


Aku tidak ingin dia kembali, tidak lagi ingin. Pernah aku berharap dia salah mengambil keputusan, mengubahnya dan kembali kepada kondisi sebelum dia pergi. Nyatanya, dia tak melakukannya. Dia semakin jauh pergi dan semakin jauh saja.


Dan aku masih di sini,di sisi salib Tuhanku.
Aku menaruh pengharapan baru, impian baru yang jauh berbeda dengan dulu.
Aku tau tempat kumenaruh harapan dan kepercayaan, di kaki salib Tuhanku.
Kelak, Ia akan menjadikan semua harapan dan impian itu nyata seturut kehendakNya.
Setiap saat kuberharap Dia memperhitungkan segala hal yang keperjuangkan.

Ahhh, Ivay...tetaplah di sana agar segala yang kau korbankan tidak sia-sia.